Sejak diberlakukannya Kurikulum 1975, yang waktu itu dikenal dengan sebutan Pembakuan Kurikulum, para guru diwajibkan menggunakan tujuan instruksional khusus (TIK) dalam melaksanakan tugasnya dari mulai perencanaan pengajaran, pelaksanaan proses belajar-mengajar sampai evaluasi pengajaran. Kewajiban itu merupakan implikasi dari penggunaan prinsip objective oriented sebagai salah satu asas pengembangan kurikulum. Penerapan prinsip berorientasi pada tujuan ini nampak pada Kurikulum 1975 dengan dicantumkannya berbagai jenis tujuan yang tersusun secara hierarkhis, dari mulai tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler sampai ke tujuan instruksional umum. Atas dasar tujuan-tujuan itu, guru diwajibkan mengembangkan tujuan instruksional khusus untuk diusahakan pencapaiannya pada proses belajar-mengajar yang diselenggarakannya. Tujuan instruksional khusus itu menjadi tujuan antara untuk mencapai tujuan yang berada di atasnya.
Sejak diimplementasikannya Kurikulum 1975 sampai dewasa ini para guru telah terbiasa merumuskan tujuan instruksional khusus yang dewasa ini biasa disebut tujuan pembelajaran khusus (TPK), sebagai bagian penting dari tugas menyusun Program Satuan Pelajaran dan Rencana Pelajaran. Jika dihitung-hitung, penggunaan TPK dalam pengajaran (proses belajar-mengajar) telah berlangsung selama lebih dari seperempat abad. Artinya suatu jangka waktu yang cukup panjang dalam menerapkan suatu gagasan, sehingga layak untuk diperiksa hasilnya, dengan mengajukan pertanyaan: apa dampak dari penerapan ide ini? Persoalan lain yang tidak kurang pentingnya adalah masalah: apakah gagasan itu telah diterapkan secara semestinya? Suatu studi kecil yang dilakukan peneliti di kalangan guru yang mengikuti lanjutan studi di IKIP Bandung (sekarang UPI) dan pada beberapa program penataran dengan pengalaman kerja kebanyakan belasan tahun yang seluruhnya berjumlah 164 orang, ternyata hanya 27, 43 % dari mereka mengaku senantiasa menginformasikan TPK pada fase pembukaan pembelajarannya. Selebihnya mengaku hanya kadang-kadang saja dan bahkan sebagian menyatakan tidak pernah sama sekali memberitahukan TPK kepada para siswanya pada waktu mengajar. Informasi lain diperoleh dari Pengawas (Dikbud) di wilayah Bogor, yang menyatakan bahwa kurang lebih 10% dari guru-guru di wilayah itu yang terbiasa menginformasikan tujuan pembelajaran khusus kepada para siswanya ketika mereka mengajar. Data dan informasi itu mengindikasikan kekurang pahaman bagian terbesar dari mereka akan fungsi dan manfaat TPK dalam pembelajaran. Itu sebabnya mereka tidak memperlakukan TPK secara semestinya. Konsekuensinya TPK kehilangan fungsinya seperti digagaskan oleh penggagasnya. Jadi apa yang diharapkan dapat dicapai dari penerapan suatu ide, jika ide itu tidak diterapkan sebagaimana mestinya?
Persoalan lain adalah bahwa pengunaan prinsip objective oriented dalam pengembangan kurikulum itu nampaknya tidak didahului oleh suatu kajian mendalam dan luas mengenai keampuhan prinsip itu bila diterapkan di Indonesia. Boleh jadi penerapan prinsip itu hanya didasarkan pada expert judgement semata. Bukankah betapa pun bagusnya sebuah ide di lingkungan tertentu tidak akan serta merta bagus pula untuk diterapkan di lingkungan lainnya. Aspek sosial, budaya, dan sumber daya akan turut menentukan keberhasilan penerapan suatu gagasan. Apa lagi jika kita baca beberapa literatur, ternyata di Amerika Serikat sindiri pun tempat lahirnya gagasan perlunya TPK dalam pembelajaran, sempat menjadi sebuah isyu kontroversial di antara para pakar. Beberapa pakar, misalnya L.T. Dawley dan H.H. Dawley (1974), P.C. Duchastel dan B. Brown (1975), W.E. Hauck dan J.W. Thomas (1972), R.J. Kibler (1977), dan lain-lain, melalui penelitiannya masing-masing menemukan bahwa penggunaan TPK dalam proses belajar-mengajar ternyata dapat meningkatkan keberhasilan siswa belajar. Tetapi sebaliknya H. Hausdorf (1965), R.L. Ebel (1970), E.W. Eisner (1967) memandang penggunaan TPK dalam mengajar tidak jelas manfaatnya. W.J. Popham menulis secara rinci dan mendalam yang esensinya meragukan validitas sejumlah argumen yang diajukan sejumlah pakar mengenai kekurang bermaknaan penggunaan TPK dalam pengajaran.
Fenomena yang mengindikasikan belum meratanya kematapan pemahaman guru-guru akan fungsi dan kemanfaatan dan cara bagaimana memperlakukan TPK dalam mengajar serta adanya inkonsistensi hasil penelitian dan pandangan yang saling berbeda di antara sejumlah pakar di Amerika Serikat (R.J. Kibler, 1981; W. Dick dkk. 1985; R.I. Arends,1989) telah mendorong dilakukannya penelitian ini. Dengan penelitian ini diharapkan diperoleh pengetahuan empiris mengenai manfaat TPK dalam upaya meningkatkan efektifitas proses belajar-mengajar di sekolah.
A. Rumusan Masalah
Secara umum, masalah yang hendak diteliti dalam studi ini adalah manfaat penggunaan tujuan pembelajaran khusus dalam proses belajar-mengajar. Secara lebih khusus, masalah itu dapat dirumuskan sebagai berikut: “Apakah penggunaan tujuan pembelajaran khusus meningkatkan efektifitas proses belajar-mengajar?”
Tujuan pembelajaran khusus dalam rumusan masalah itu didefinisikan sebagai: “pernyataan yang menjelaskan apa yang diharapkan dapat dilakukan siswa setelah mengikuti satu unit proses belajar-mengajar.” Satu unit proses belajar-mengajar di sini dimaksudkan sebagai satu pertemuan kelas selama dua kali 45 menit dalam mana berlangsung rangkaian hubungan edukatif antara guru dengan siswa dan interaksi antara tindakan pembelajaran guru dengan perbuatan belajar siswa yang ditujukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Dimaksudkan dengan kata-kata “penggunaan tujuan pembelajaran khusus” dalam rumusan masalah tersebut adalah perlakuan guru terhadap rumusan tujuan-tujuan pembelajaran khusus yang telah dikembangkan guru sebagaimana yang dicantumkannya dalam program satuan pelajaran dan/atau rencana pelajaran yang dibuatnya. Dalam penelitian ini ditetapkan dua kondisi sebagai berikut:
1. Tujuan pembelajaran khusus telah diperlakukan secara semestinya (benar) apabila tujuan-tujuan pembelajaran khusus yang dibawa guru ke dalam kelas belajar diinformasikan kepada siswa dengan jelas pada fase pembukaan proses belajar-mengajar sehingga tujuan pembelajaran khusus menjadi fungsional;
2. Tujuan pembelajaran khusus diperlakukan secara tidak semestinya apabila tujuan-tujuan pembelajaran khusus yang dibawa guru ke dalam kelas tidak dinformasikan kepada siswa sehingga tujuan pembelajaran khusus tidak berarti apa pun bagi siswa.
Belajar dalam kondisi pertama dinamakan relevant learning; sedang belajar pada kondisi kedua dinamakan incidental learning (P.C. Duchatsel D.R. Brown, 1974).
Efektifitas adalah kondisi efektif dari suatu usaha, yang dalam hal ini adalah tindakan pembelajaran yang dilakukan guru yang dibuktikan dengan prestasi belajar yang diperlihatkan siswa. Dengan demikian maka efektifitas adalah rasio antara hasil yang dicapai atau realized outcomes (RO) dengan hasil yang diinginkan untuk dicapai atau intended outcomes (IO). Suatu usaha dikatakan efektif apabila rasio antara RO dengan IO sama dengan 1 (satu) atau mendekati 1 (satu). Dengan demikian maka suatu pembelajaran dikatakan efektif apabila tujuan yang dicapai sama dengan atau mendekati tujuan yang ingin dicapai. Jadi idealnya adalah jika tujuan yang diinginkan guru dicapai siswa 10 dan ternyata para siswa berhasil mencapai 10, maka pembelajaran dapat dikatagorikan efektif. Mengingat usaha apa pun sulit untuk dapat mencapai seluruh apa yang diinginkan, maka dalam konteks pembelajaran jika para siswa berhasil mencapai 8 atau 9 tujuan dari 10 tujuan yang ditetapkan guru, maka kondisi yang demikian sudah dapat digolongkan efektif. Pada contoh pertama, angka efektifitas itu ditunjukkan oleh rasio 10: 10 = 1; sedangkan pada contoh kedua rasionya 8: 10 atau 9: 10, maka angka efektifitasnya = 0,8 atau 0,9. Pada Kurikulum 1984 diperkenalkan konsep ketuntasa belajar (mastery learning). Seseorang siswa mencapai ketuntasan belajar jika ia memperoleh nilai sama dengan 7.5 ke atas.
B. Tujuan dan manfaat penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi empiris mengenai manfaat penggunaan tujuan pembelajaran khusus dalam proses belajar-mengajar. Secara lebih khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan tujuan pembelajaran khusus secara semestinya terhadap efektifitas proses belajar-mengajar. Dengan diperolehnya pengetahuan tentang hal itu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu masukan bagi uasaha-usaha meningkatkan kualitas pembelajaran.
C. Anggapan dasar
Penelitian ini bertolak dari anggapan dasar sebagai berikut:
1. Tujuan pembelajaran khusus merupakan komponen penting dari program satuan pelajaran;
2. Tujuan pembelajaran khusus dapat membimbing siswa memusatkan perhatian dan mengarahkan pikiran dan tenaganya dalam belajar di kelas.
3. Siswa giat mempelajari sesuatu karena mengetahui akan diujikan.
D. Hipotesis
Meningkat tidaknya efektifitas proses belajar-mengajar dapat dilihat dari prestasi belajar yang dicapai siswa dengan memberikan perlakuan tertentu. Mengingat dampak perlakuan itu mungkin juga disebabkan karena pengaruh faktor lainnya, maka pada penelitian ini pemeriksaan akan dilakukan melalui perbandingan antara dua perlakuan yang berbeda. Karenanya hipotesis dalam penelitian ini adalah: “Terdapat perbedaan prestasi belajar siswa secara signifikan antara pembelajaran yang menggunakan tujuan pembelajaran khusus dengan yang tidak menggunakan tujuan pembelajaran khusus.”
E. Metodologi Penelitian
1. Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian eksperimen.
Eksperimen dilakukan dengan memberikan perlakuan tertentu pada sebuah kelas eksperimen, yaitu pembelajaran dengan menggunakan tujuan pembelajaran khusus dan pembelajaran tanpa menggunakan tujuan pembelajaran khusus pada sebuah kelas lainnya sebagai kelas kontrol. Pada setiap akhir proses belajar-mengajar diadakan post test. Eksperimen dilakukan pada mata pelajaran Sejarah selama satu bulan sebanyak 4 kali pertemuan kelas masing-masing 2 kali @ 45 menit. Eksperimen dilaksanakan pada bulan April 1998.
2. Populasi dan sampel
Penelitian ini merupakan sebuah studi kasus di sebuah Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama swasta yaitu SLTP KORPRI Unit UPI, pada sebuah mata pelajaran yaitu mata pelajaran Sejarah. Yang dijadikan subjek penelitian adalah para siswa kelas 2, dengan mengambil sampel secara acak sebanyak 2 kelas yang homogin berdasarkan rata-rata NEM ketika mereka masuk dan rata-rata prestasi belajar hari-hari di kelas 2, yaitu Kelas II E sebagai Kelas Eksperimen (KE) dan Kelas C sebagai Kelas Kontrol (KK).
3. Kerangka berpikir dan desain penelitian
Penggunaan instructional objectives dalam proses belajar-mengajar dipelopori oleh R. F. Mager pada tahun enampuluhan yang ketika itu di Amerika Serikat sedang giat-giatnya dilakukan gerakan pembaharuan kurikulum. Publikasi R.F. Mager yang pertama terbit pada tahun 1962 dengan judul Preparing Instructional Objectives. Mager mendefinisikan instructional objective sebagai berikut: “Tujuan pembelajaran khusus adalah maksud yang dikomunikasikan melalui pernyataan yang menjelaskan perubahan tingkah laku yang diharapkan (guru) terjadi pada diri siswa -suatu pernyataan mengenai seperti apa keadaan diri siswa setelah siswa menyelesaikan suatu pengalaman belajar dengan sukses. Saran penggunaan instructional objective dalam pengajaran itu mendapat sambutan yang luas, terbukti dengan banyak dilakukannya seminar dan workshop serta pelatihan beribu-ribu guru mengenai pengembangan tujuan pembelajaran khusus untuk menjamin akontabilitas pengajaran (W. Dick, 1989). Setelah beberapa lama gagasan ini diimplementasikan di sekolah-sekolah, para pakar pendidikan melakukan kajian-kajian dan penelitian-penelitian mengenai berbagai aspek dari tujuan pembelajaran khusus itu. Di luar sebutan instructional objective, muncul sebutan-sebutan lain, misalnya behavioral objective, terminal behavior, dan peformance objective. Demikian juga dengan pendefinisiannya, terdapat perbedaan-perbedaan. R.J. Kibler, misalnya, mendefisikan tujuan pembelajaran khusus sebagai “pernyataan yang menjelaskan apa yang dapat dilakukan siswa setelah siswa menyelesaikan pelajaran yang diprogramkan (1981). Lain lagi definisi yang dikemukakan Dick Walter: performance objective adalah deskripsi terperinci mengenai apa yang dapat dilakukan siswa setelah menyelesaikan suatu unit pembelajaran (1985). Sejumlah penelitian menghasilkan berbagai kesimpulan yang mengindikasikan inkonsistensi. Beberapa riset menghasilkan temuan bahwa penggunaan tujuan pembelajaran khusus dalam proses belajar-mengajar ternyata meningkatkan prestasi belajar siswa; sementara riset lain tidak menemukan perbedaan hasil belajar antara pembelajaran dengan menggunakan dengan yang tidak menggunakan tujuan pembelajaran khusus. Hal itu mengakibatkan adanya segolongan ahli yang skeptis di samping mereka yang tetap merasa yakin akan kegunaan tujuan pembelajaran khusus dalam pengajaran.
Mengenai rasional perlu digunakannya tujuan pembelajaran khusus dapat diikuti pendapat R.W. Tyler (1964), R.M. Gagne (1965), dan De Cecco (1977) sebagai berikut:
(1) Tujuan pembelajaran khusus membimbing guru dalam perencanaan pengajaran, yang memungkinkan guru dapat merancang langkah-langkah kegiatan apa yang perlu dilakukan siswa dalam mencapai tujuan; (2) tujuan pembelajaran khusus menjadi acuan dan memudahkan guru didalam menilai performans siswa; (3) tujuan pembelajaran khusus membimbing siswa dalam mengarahkan perhatiannya dan usaha belajarnya, dan untuk itu siswa harus mengetahui apa yang hendak dicapai sebelum menjalani kegiatan belajar.
Dari tiga sudut pandang R.J. Kibler dkk. menjelaskan rasional perlu digunakannya tujuan pembelajaran khusus sebagai berikut:
(1) Dari sudut rational and intuitive perspective, digunakannya tujuan pembelajaran khusus dalam pembelajaran berkenaan dengan meluasnya penerimaan gagasan akontabilitas pendidikan. Artinya dengan tersedianya tujuan-tujuan pembelajaran khusus dalam program pengajaran yang disusun guru, maka para orang tua, supervisor, dan dewan sekolah dapat mengetahui apa yang dilakukan guru dan apa yang dipelajari siswa; (2) Dari sisi empirical perspective ternyata banyak riset menemukan bahwa penggunaan tujuan pembelajaran khusus dalam proses belajar-mengajar dapat meningkatkan prestasi belajar. Adanya inkonsistensi hasil-hasil penelitian tidak lain disebabkan karena kelemahan-kelemahan metodologis dalam penelitiannya itu sendiri; (3) Dari sudut functional perspective, penggunaan tujuan pembelajaran khusus dalam pengajaran bermanfaat bagi banyak pihak: (a) Bagi siswa, dengan mengetahui dan memahami tujuan pembelajaran khusus siswa tidak akan menduga-duga apa yang mereka harus pelajari dan apa yang seharusnya mereka demonstrasikan setelah mengikuti pelajaran; (b) Bagi guru, tujuan pembelajaran khusus yang jelas akan memudahkan dalam menentukan pilihan materi pelajaran, metode, kegiatan belajar, dan alat evaluasi; (c) Bagi administrator, tersedianya tujuan pembelajaran khusus memungkinkan mereka dapat mengontrol ketepatan implementasi kurikulum; (d) Bagi Dewan Pendidikan, tujuan pembelajaran khusus merupakan salah satu bahan kongkrit dalam menilai program; (e) Bagi orang tua, tujuan pembelajaran khusus menjadi bermanfaat jika guru secara teratur mengirimkan laporan mengenai ketercapaiannya oleh anak-anak mereka.
Penelitian ini dirancang dalam desain penelitian sebagai di bawah ini.
Guru Sejarah di kelas IIA sampai kelas II E ditunjuk sebagai pelaksana eksperimen. Guru yang bersangkutan ditugaskan untuk melaksanakan beberapa tugas dengan bimbingan dan petunjuk dari peneliti, sebagai berikut:
a. Menyusun Program Satuan Pelajaran untuk 4 kali pertemuan (4 minggu @ 2 x 45 menit);
b. Menyusun Rencana Pelajaran untuk setiap kali pertemuan;
c. Melaksanakan proses belajar-mengajar sebagaimana lazimnya ia mengajar dengan ketentuan pada Kelas Eksperimen guru menginformasikan secara jelas mengenai tujuan pembelajaran khusus kepada siswa pada fase pembukaan, sedangkan pada Kelas Kontrol guru tidak menginformasikan tujuan pembelajaran khusus;
d. Pada akhir setiap kali proses belajar-mengajar guru diminta mengadakan tes akhir (post test) pada kedua kelas dengan soal yang sama;
e. Hasil tes diadministrasikan kedalam 2 daftar skor.
4. Pengolahan dan analisis data
Skor yang dicapai oleh semua siswa dimasukkan kedalam daftar skor pada masing-masing kelas. Skor tidak diubah menjadi nilai, melainkan dibiarkan seperti apa adanya. Untuk membandingkan prestasi siswa di antara kedua kelas tersebut dilakukan pengolahan statistik dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Menggabungkan keempat skor yang diperoleh siswa pada empat kali post test dan kemudian dirata-ratakan;
b. Menguji normalitas dengan uji chi kuadrat
c. Memeriksa homoginitas dengan uji homoginitas variansi;
d. Memeriksa perbedaan dua rata-rata;
e. Menguji signifikansi perbedaan dengan uji t
F. Hasil penelitian
Rata-rata skor dari skor yang dicapai pada 4 kali pertemuan menunjukkan bahwa hasil belajar siswa pada Kelas Eksperimen lebih baik dibandingkan dengan hasil belajar siswa pada Kelas Kontrol, yaitu 7,51 pada Kelas Eksperimen dan 6,76 pada Kelas Kontrol.
Untuk mengetahui apakah perbedaan itu signifikan atau tidak, maka dilakukan pengujian statistik. Hasil pengolahan statistik ternyata skor pada kedua kelas tidak berdistribusi normal. Oleh karena itu maka pengujian statistik dilakukan dengan menggunakan statistik non parametrik, yaitu Tes Wilcoxon dengan langkah-langkah sebagai berikut.
Menyamakan jumlah anggota kelas II C dan kelas E. Anggota kelas C yang berjumlah 42 orang dikurangi secara acak sebanyak 5 orang sehingga anggota kedua kelas itu sama-sama berjumlah 37 orang;
Menentukan nilai W, yaitu = 180,76
Pengolahan statistik menunjukkan W hitung < W 0,01 (37), yaitu W tabel adalah 180,76, sedangkan W hitung pada signifikansi 1 % (0,01) adalah 33,5. Dengan demikian maka dapat disimpulkan, prestasi siswa Kelas Eksperimen yang ditunjukkan oleh skor yang dicapainya berbeda dengan prestasi siswa Kelas Kontrol secara signifikan pada taraf kepercayaa 99 %. Ini berarti bahwa perlakuan yang berupa pemberian informasi secara jelas mengenai tujuan pembelajaran khusus kepada siswa pada awal kegiatan proses belajar-mengajar, ternyata dapat meningkatkan efektifitas belajar siswa. Dengan demikian hipotesis penelitian ini diterima. Lebih jauh dapat disimpulkan bahwa tujuan pembelajaran khusus besar gunanya dalam meningkatkan efektifitas belajar siswa jika penggunaan tujuan pembelajaran khusus itu dilakukan secara semestinya seperti disarankan oleh para pakar.
G. Rekomendasi
Berdasarkan hasil temuan dalam penelitian ini, patut direkomendasikan hal-hal sebagai berikut:
1. Bagi para tenaga pengajar
a. Perlakukan tujuan pembelajaran khusus yang dengan telah susah payah dirumuskan sebagai salah satu komponen pertama dan utama dari program satuan pelajaran dan rencana pelajaran secara fungsional dengan cara menginformasikan secara jelas kepada peserta didik baik dengan cara lisan maupun tertulis pada fase pembukaan proses belajar-mengajar;
b. Periksa apakah TPK demi TPK telah dikuasai peserta pada waktu berlangsungnya proses belajar-mengajar tahap demi tahap;
c. Gunakan tujuan pembelajaran khusus sebagai acuan dalam memilih prosedur penilaian maupun menyusun alat evaluasi;
d. Tingkatkan pengetahuan teori dan keterampilan teknis yang diperlukan dalam mengembangkan tujuan pembelajaran khusus;
e. Review berulangkali rumusan-rumusan tujuan pembelajaran khusus setelah digunakan dengan menggunakan umpan balik dari hasil analisis terhadap hasil tes maupun ujian.
2. Bagi Kepala Sekolah dan Pimpinan Institusi Pendidikan Lainnya
Melakukan supervisi terhadap performans pengajar secara teratur mengenai kemampuan teknis pengembangan tujuan pembelajaran khusus dan penggunaannya didalam kelas belajar akan sangat besar manfaatnya bagi upaya peningkatan kualitas pengajaran.
Comments :
0 komentar to “Penelitian Tentang Manfaat Tujuan Pembelajaran Khusus dalam Proses Belajar Mengajar”
Posting Komentar